Pematangsiantar, Oktober 2025 |Praktisi hukum Willy W. Sidauruk, S.H., M.Si. menyampaikan keprihatinan mendalam atas banyaknya kasus di berbagai daerah di mana tanah rakyat yang telah digarap turun-temurun tiba-tiba ditetapkan sebagai tanah pemerintah atau kawasan hutan register.
Fenomena ini, menurutnya, merupakan bentuk kelemahan hukum administrasi pertanahan dan menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan dalam penetapan kawasan hutan oleh negara.
Dalam legal opini yang disusunnya, Willy W. Sidauruk menjelaskan bahwa ratusan ribu hektar tanah rakyat di Indonesia kehilangan status kepemilikan karena masuk dalam peta kawasan hutan atau dinyatakan sebagai tanah negara, padahal masyarakat telah menguasainya secara nyata selama puluhan tahun.
“Negara seharusnya hadir untuk melindungi hak rakyat, bukan mengambil tanah rakyat dengan dalih kawasan hutan. Banyak warga yang telah hidup turun-temurun di tanah itu, tetapi karena tidak bersertifikat, mereka dianggap menempati tanah negara,”
tegas Willy W. Sidauruk, S.H., M.Si., Praktisi Hukum dan Pemerhati Agraria.
PENYEBAB: DARI MASA KOLONIAL HINGGA KESALAHAN ADMINISTRASI MODERN
Dalam hasil kajian hukumnya, Willy W. Sidauruk menyebut akar persoalan penetapan sepihak tanah rakyat menjadi tanah pemerintah berawal dari sistem kolonial Belanda yang berlanjut ke masa modern tanpa pembaruan substansial.
Penetapan kawasan hutan (register) dilakukan hanya berdasarkan peta administratif, tanpa mempertimbangkan data sosial dan penguasaan aktual di lapangan.
“Banyak wilayah yang sejak lama menjadi permukiman dan lahan garapan rakyat, tiba-tiba masuk ke dalam peta kawasan hutan. Ironisnya, warga justru dituduh menyerobot tanah negara,” ujarnya.
NEGARA SERING SALAH MENAFSIRKAN ASAS “DIKUASAI OLEH NEGARA”
Lebih lanjut, Willy menilai pemerintah sering menafsirkan secara keliru Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.”
Menurutnya, penguasaan oleh negara bukan berarti pengambilalihan, melainkan pengaturan agar digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Asas penguasaan negara harus dipahami sebagai tanggung jawab, bukan kekuasaan mutlak. Negara wajib menjamin hak rakyat atas tanah, bukan mencabutnya,” tegasnya.
DAMPAKNYA: RAKYAT TERKRIMINALISASI DAN TERPINGGIRKAN
Akibat dari penetapan kawasan hutan tanpa verifikasi, ribuan masyarakat adat dan petani di berbagai daerah dikriminalisasi, karena dianggap menduduki kawasan hutan secara ilegal.
Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, melainkan hak masyarakat hukum adat.
Namun, dalam praktiknya, warga tetap diusir, kehilangan lahan pertanian, bahkan di beberapa daerah rumah mereka diratakan atas nama penegakan hukum kehutanan.
Willy menilai, kondisi ini bertentangan dengan semangat reforma agraria dan keadilan sosial sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
REKOMENDASI: NEGARA HARUS LAKUKAN VERIFIKASI FAKTUAL DAN REFORMASI AGRARIA
Dalam rilis resminya, Willy W. Sidauruk, S.H., M.Si. menyampaikan beberapa langkah strategis agar konflik agraria akibat penetapan kawasan hutan dapat diminimalkan, antara lain:
1. Melakukan verifikasi faktual lapangan terhadap klaim tanah masyarakat sebelum menetapkan kawasan hutan atau tanah negara.
2. Meninjau ulang (review) peta kawasan hutan dan register, khususnya yang tumpang tindih dengan permukiman rakyat.
3. Melindungi tanah adat dan tanah garapan rakyat melalui program sertifikasi, legalisasi aset, dan redistribusi tanah.
4. Melibatkan masyarakat, akademisi, dan lembaga hukum independen dalam proses penyusunan kebijakan pertanahan dan kehutanan.
5. Menegakkan prinsip keadilan sosial dan keadilan agraria, bukan sekadar kepastian administratif semata.
“Keadilan agraria bukan hanya soal sertifikat tanah, tetapi tentang pengakuan atas sejarah, keringat, dan hak hidup rakyat di atas tanahnya sendiri,” pungkas Willy.
TENTANG NARASUMBER
Willy W. Sidauruk, S.H., M.Si. adalah seorang praktisi hukum, konsultan kebijakan publik, dan pemerhati agraria yang aktif memberikan pendampingan hukum bagi masyarakat korban konflik pertanahan di Sumatera Utara.
Beliau dikenal vokal dalam isu keadilan agraria, tata kelola tanah, dan penegakan hukum yang berkeadilan bagi rakyat kecil.(Team)