Jakarta Lintangnews.com | Merajut toleransi dan perdamaian, menuju anak Indonesia hebat dan berbhineka dalam mengingat tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik bangsa Indonesia, masalah yang berkaitan dengan perlindungan anak dapat dipastikan akan terlupakan.
“Ini tidak akan menjadi agenda utama pembangunan dan pemberdayaan kelompok rentan seperti anak, perempuan dan lanjut usia (lansia),” sebut Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, Senin (29/10/2018).
Sebab menurutnya, ada kebiasaan masyarakat saat menghadapi hiruk-pikuk kegiatan politik, anak sering dilibatkan dan dieksploitasi justru untuk kepentingan orang dewasa. Dengan keterlibatan dalam kegiatan politik, anak tidak bisa terhindarkan dari penanaman rasa kebencian, kekerasan serta permusuhan selama dalam aktivitas politik orang dewasa tersebut.
Ini dipicu lingkungan keluarga, sekolah maupun sosial saat ini sangat sedikit menanamkan nilai-nilai kejujuran keteladanan dan contoh baik bagi anak. Anak seringkali kehilangan orientasi dan jati dirinya. Adalah fakta, bahwa sekolah sudah seringkali mengesampingkan pengajaran terhadap nilai-nilai budaya dan moral.
“Pancasila sebagai ideologi negara tidak lagi diperkenalkan dalam kehidupan anak-anak dalam proses belajar mengajar dan menjadi peserta didik. Seiring dengan itu berdampak anak kehilangan nilai-nilai dan jiwa nasionalisme, pluralisme serta rasa toleran dalam kehidupan dan pergaulan anak Indonesia,” papar Arist Merdeka.
Menurutnya, Pendidikan Moral Pancasila merupakan pendidikan budi pekerti dan karakter bangsa di kalangan anak-anak Indonesia. Namun di dalam kurikulum pendidikan nasional tidak lagi menjadi pengajaran utama dalam sekolah.
Dia menuturkan, mencegah kasus-kasus kekerasan dan perundungan (bullying) terhadap anak di lingkungan sekolah, pihaknya segera mendorong peran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengembalikan Pendidikan Moral Pancasila ke pangkuan anak Indonesia sebagai basis pengajaran atas kecintaan terhadap tanah air nasionalisme, anti kekerasan, anti terhadap ujaran kebencian serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemajemukan dan toleransi antar sesama anak Indonesia.
“Keluarga harus mampu menghindari bahkan memberikan yang terbaik bagi anak-anak. Disamping itu diperlukan juga aksi nasional untuk mendesak Kemendikbud guna menerbitkan peraturan pelaksanaan yang mewajibkan lingkungan sekolah menjadi lingkungan atau zona anti kekerasan terhadap anak dan anti penanaman terhadap paham radikalisme dan ujaran kebencian,” paparnya.
Arist Merdeka menuturan, upaya untuk mencegah kasus kasus tawuran dan kekerasan dalam lingkungan pendidikan serta lingkungan rimah, mendesak aparat penegak hukum untuk selalu berpihak kepada kepentingan terbaik anak dalam proses pemeriksaan. Ini termasuk penanganan anak-anak yang berhadapan dengan hukum sebagai representasi atas pelaksanaan undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak atau SPPA.
Masalah-masalah sosial anak itu akan menjadi topik bahasan dalam penyelenggaraan Kongres Anak Indonesia (KAI) ke XV tahun 2018 di Belitung Timur.
Pembahasan itu direncanakan akan dibagi dalam sidang-sidang komisi untuk mendapat rumusan hasil sebagai Suara Hati Nurani Anak Indonesia untuk diserahkan kepada pengambil keptusan serta kepada para pemangku kepentingan (stakeholdres).
Arist menambahkan, dalam kerangka memperingati 20 tahun Komnas Perlindungan Anak mengabdi untuk penyelamatan anak-anak di Indonesia. Selain menyiapkan forum anak seperti Kongres Anak untuk membahas masalah-masalah yang bertalian dengan hak anak, maka 20 tahun keberadaan Komnas Perlindungan Anak dipergunakan untuk merefleksikan kembali langkah-langkah yang telah dilakukan dalam penyelamatan dan pendampingan anak-anak selama ini. (asri)