China, Lintangnews.com | Pemerintah China dilaporkan memiliki penjara-penjara raksasa untuk ‘mendidik’ para Muslim dari etnis Uighur di Xinjiang. Dengan dalih mencegah ekstremisme, China menangkapi warga Muslim, salah satunya yang memiliki hubungan dengan Indonesia.
Lembaga HAM Human Right Watch (HRW) pada Senin (10/9/2018) merilis laporan mereka soal pemenjaraan warga Muslim Uighur di Xinjiang. Laporan HRW ini dirilis menyusul berbagai pengakuan mantan tahanan yang diberitakan media-media arus utama seperti Associated Press dan New York Times dalam beberapa bulan terakhir.
Panel HAM PBB pada Agustus lalu telah melaporkan adanya 1 juta warga Uighur yang ditahan dalam penjara-penjara rahasia di Xinjiang, wilayah mayoritas Muslim di barat China. Di tempat ini, mereka dididik untuk menanggalkan paham agama dan dicekoki kecintaan kepada Partai Komunis.
Mei lalu, Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian membantah adanya penjara bagi ribuan umat Islam di Xinjiang. Dia bahkan menyebut berita itu palsu. “Itu berita palsu. Laporan itu direkayasa,” kata Xiao.
HRW mewawancarai 58 bekas warga Xinjiang, termasuk 5 mantan tahanan dan 38 keluarga tahanan. Beberapa di antara mereka kabur dari Xinjiang setahun terakhir.
Para tahanan ditangkapi dan dipenjara karena dituduh ekstremis, yang salah satu indikasinya adalah pernah mengunjungi atau punya kerabat di satu dari “26 negara sensitif”. HRW menyebutkan empat negara di antaranya, yaitu Kazakhstan, Turki, Malaysia, dan Indonesia.
“Orang-orang yang pernah ke negara ini, punya keluarga, atau berkomunikasi dengan orang-orang di sana, telah diinterogasi, ditahan, dan bahkan diadili dan dipenjara,” tulis laporan HRW.
Akibat hal ini, kata HRW, hubungan kekerabatan antara warga Uighur di Xinjiang dan di luar negeri terputus.
“Karena pemerintah Xinjiang menghukum orang karena menghubungi keluarga mereka di luar negeri, banyak yang mengaku kehilangan kontak, termasuk anak-anak kecil, dalam hitungan bulan atau tahun,” tulis HRW.
Ribuan warga Muslim Xinjiang yang dipenjara mengalami cuci otak untuk menanggalkan keislamannya dan memasukkan paham komunisme. Hal ini disampaikan oleh Abdusalam Muhemet, 41, warga Uighur bekas tahanan China yang diwawancara New York Times.
Muhemet ditangkap karena ketahuan membaca Al-Quran di pemakaman. Selama dua bulan dia ditahan di salah satu penjara, yang menurut New York Times berada di Hotan, dekat Gurun Taklamakan, Xinjiang.
Sehari-harinya, mereka mendengarkan ceramah soal komunisme dan menyanyikan himne Partai Komunis, serta menulis esai ‘introspeksi’ yang isinya merendahkan diri sendiri dan agama.
Salah satu lagu yang harus dihafal, kata dia, berjudul ‘Tanpa Partai Komunis, Tidak Akan Ada China Baru’. Mereka yang tidak hafal lagunya dilarang sarapan.
China memang tidak melarang Islam secara terang-terangan dan mengaku menjunjung kebebasan beragama. Namun dalam praktiknya, kata Muhemet yang telah kabur dari negara itu, pemerintah China melarang warga Uighur menjalankan ibadah mereka sebagai umat Islam.
“Pada akhirnya, poinnya hanya satu: Agungnya Partai Komunis China, rendahnya kebudayaan Uighur dan majunya kebudayaan China,” kata Muhemet.
sumber : kumparan.com