KUR Tanpa Agunan dan Dengan Agunan: Perlindungan atau Perangkap Baru bagi UMKM? Lintangnews.com – Opini

Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) kembali menjadi sorotan publik setelah muncul berbagai keluhan dari pelaku UMKM terkait perbedaan syarat antara KUR tanpa agunan dan KUR dengan agunan yang diterapkan oleh sejumlah bank penyalur. Persoalan ini semakin menarik perhatian mengingat KUR merupakan skema pembiayaan yang didesain pemerintah untuk membantu usaha kecil mengembangkan modal, bukan justru menambah beban.

Di tengah semakin ketatnya penyaluran pinjaman perbankan, banyak debitur mempertanyakan: apakah KUR seharusnya bebas agunan, atau memang diperlukan jaminan tambahan? Pertanyaan ini pantas diajukan mengingat landasan utama KUR adalah memperluas akses modal bagi pelaku usaha yang kesulitan mendapatkan kredit konvensional.

KUR Tanpa Agunan: Harapan Besar yang Tak Selalu Sesuai Realita

Secara regulasi, terutama untuk KUR Mikro, pemerintah menegaskan bahwa KUR tidak mensyaratkan agunan tambahan karena kredit tersebut sudah dijamin oleh lembaga penjamin seperti Jamkrindo dan Askrindo. Artinya, pelaku usaha cukup membuktikan kelayakan usahanya melalui arus kas dan rekam jejak usaha.

Namun, di lapangan, tidak sedikit nasabah yang tetap diminta membawa jaminan tambahan meski jenis pembiayaan yang diajukan termasuk kategori KUR Mikro. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa bank kadang lebih memilih berlindung pada prinsip kehati-hatian, tetapi pada saat yang sama justru mengurangi makna program KUR sebagai kredit pro-rakyat.

Jika aturan menyatakan tak perlu agunan tambahan, namun praktiknya berbeda, maka hal ini bisa menjadi maladministrasi yang merugikan masyarakat kecil.

KUR Dengan Agunan: Perlindungan Bank, Risiko UMKM

Berbeda dari KUR Mikro, beberapa jenis KUR seperti KUR Kecil memang memungkinkan bahkan mewajibkan adanya jaminan tambahan berupa sertifikat tanah, BPKB, atau aset lainnya. Secara hukum, ketika debitur menyerahkan agunan, bank memperoleh hak untuk mengeksekusi jaminan tersebut jika terjadi tunggakan.

Pada titik inilah banyak pelaku UMKM merasa ragu. Alih-alih merasa terbantu, mereka menganggap penambahan agunan menjadikan KUR tak berbeda dengan kredit komersial biasa. Risiko kehilangan aset yang menjadi jaminan membuat banyak pelaku usaha akhirnya mengurungkan niat mengajukan modal.

KUR Seharusnya Menjadi Ruang Napas, Bukan Jerat Baru

Dalam pandangan kami, pelaksanaan KUR harus kembali kepada semangat awalnya: mendorong UMKM tumbuh tanpa beban berlebihan. Program ini tidak boleh berubah menjadi instrumen yang menyulitkan atau menekan pelaku usaha kecil.

Jika regulasi menyatakan bahwa jenis KUR tertentu tidak memerlukan agunan, maka bank harus mematuhi sepenuhnya. Pelanggaran terhadap prinsip ini dapat dianggap sebagai bentuk pengaburan kebijakan publik dan berpotensi bertentangan dengan aturan perbankan nasional.

Sebaliknya, untuk KUR yang memang mensyaratkan agunan, penting bagi bank untuk memberikan edukasi yang jelas, transparan, dan tidak menyesatkan. Masyarakat berhak mengetahui risiko hukum, termasuk kemungkinan eksekusi jaminan jika terjadi wanprestasi.

Penutup: Pemerintah Harus Turun Tangan

Opini kami jelas: pemerintah perlu memperketat pengawasan atas implementasi KUR di seluruh bank penyalur. Transparansi syarat, edukasi risiko, dan penegakan prinsip pembiayaan pro-rakyat harus menjadi prioritas.

KUR bukan hanya soal penyaluran dana. Ini tentang bagaimana negara hadir mendukung usaha kecil untuk bertahan dan berkembang. Ketika program ini berjalan melenceng, maka UMKM-lah yang paling merasakan dampaknya.(*)