Tobasa, Lintangnews.com | Jika pohon terakhir telah ditebang, ikan terakhir ditangkap dan sungai terakhir telah mengering, maka manusia baru sadar kalau uang tak dapat dimakan.
“Hal inilah yang menggambarkan keresahan dan keapatisan manusia terhadap alam dan lingkungannya,” sebut pendiri Sekolah Mata Air, Lelinawati Siregar, Kamis (18/10/2018)
Lelinawati menuturkan, saat ini dengan merosotnya kualitas lingkungan disertai ancaman global warning, masyarakat dunia mulai sadar dengan maraknya gerakan-gerakan dan kegiatan kampanye lingkungan di berbagai belahan bumi. Ini karena timbul kesadaran yang pada akhirnya kerusakan lingkungan akan berdampak pada kehidupan manusia itu sendiri.
“Dengan menjaga lingkungan adalah hal yang paling utama baik kita sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) sebagai orang beragama maupun sebagai anggota masyarakat dunia. Masyarakat sekarang cenderung sulit untuk diajak menjaga kebersihan sampahnya yang berserakan dengan sembarangan,” sebut Lelinawati.
Dia menuturkan, dampak dari ketidak pedulian, sehingga wajar saja kalau dimana-mana terjadi banjir dan longsor. Menurutnya, jika suatu tempat itu dipenuhi sampah dan dibuang secara sembarang, maka akan menimbulkan pendangkalan, bahkan penyumbatan di sungai.
“Akhirnya ini meluap dan terjadi banjir dan longsor akibat tanah yang terkontaminasi sampah organik yang dapat menurunkan kadar tanah, sehingga rapuh dan mudah longsor,” jelasnya.
Ditambahkan Lelinawati, berkat kesadaran dan kecintaan pada kelestarian lingkungan, pihaknya membentuk Sekolah Mata Air sebagai lembaga pendidikan luar sekolah.
Ini dibentuk pada Jumat (27/4/2018) dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang menjadi potensi kekuatan dan kekayaan masyarakat Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Tobasa.
Untuk mencapai kearah tujuan itu, tidak bisa tercapai bila hanya mengandalkan pendidikan formal saja. Ini membuat Sekolah Mata Air saling melengkapai dengan masyarakat dalam upaya pencapaian tujuan pelestarian lingkungan. Edukasi Sekolah Mata Air sebagai wadah dan ruang untuk tempat belajar pemulihan lingkungan dengan metode montessori atau non tutorial.
“Salah satu cara dapat mencapai tujuan kami adalah dengan mengajak masyarakat dan instansi lainnya untuk turut peduli lingkungan dan berkontribusi melalui kegiatan yang diadakan secara berkala. Dalam waktu dekat ini, akan diadakan edukasi wisata lingkungan serta edukasi budaya lokal Batak Toba,” papar Lelinawati .
Masing-masing peserta diharapkan dapat memahami bagaimana cara mendaur ulang sampah dan pemanfaatannya. Juga memahami konsep ekosistem lingkungan dan budaya lokal yang menjadi kearifan masyarakat.
“Kegiatan itu akan melingkupi edukasi Rumah Sopo Batak Toba, Sekolah Mata Air, nonton bareng, aktivitas kebersamaan (permainan lainnya), pelatihan kreasi daur ulang dari plastik dan Koran. Kegiatan lebih diperioritaskan terhadap anak usia dini, sehingga ingatan dari betapa pentingnya kelestarian lingkungan hidup untuk keseimbangan ekosistim alam dapat tersimpan di memori anak,” tukas Lelinawati. (asri)