Alasan MK: UU Tapera Bertentangan dengan UUD “Tabungan” yang Malah Memaksa

LintangNews, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bertentangan dengan UUD 1945 dan wajib dilakukan penataan ulang dalam waktu paling lama dua tahun sejak putusan dibacakan.

Ketua Majelis Hakim MK, Suhartoyo, saat membacakan amar putusan di Jakarta, menyebutkan:

“Menegaskan bahwa UU No 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat tetap berlaku, tetapi harus dilakukan penataan ulang dalam jangka waktu maksimal dua tahun,” ujar Suhartoyo.

Alasan MK Membatalkan UU Tapera

Menurut MK, beberapa pasal dalam UU Tapera telah menimbulkan persoalan konstitusional. Di antaranya:

Norma dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan Pasal 72 ayat (1) dinilai mengandung unsur ketidakpastian hukum dan diskriminasi, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945.

Pasal 7 ayat (1) dianggap sebagai “pasal jantung” dari UU Tapera. MK menilai bahwa pasal ini mengubah hak pekerja atas tabungan sukarela menjadi kewajiban iuran yang sifatnya memaksa.

UU Tapera mewajibkan setiap pekerja — termasuk pekerja mandiri — untuk menjadi peserta jika penghasilannya mencapai atau melebihi upah minimum. Sanksi dan pemberlakuan seragam dianggap tidak proporsional dan berpotensi membebani pekerja, terutama mereka yang telah memiliki rumah atau yang berpenghasilan terbatas.

MK menegaskan bahwa norma yang mewajibkan pendanaan dan sistem pembiayaan perumahan yang memberatkan tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan perlindungan terhadap kelompok rentan, sebagaimana dijamin UUD 1945.

Masa Transisi dan Putusan MK

Walaupun UU Tapera dibatalkan sebagian, MK memberikan masa transisi agar tidak terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum). Beberapa hal yang disepakati:

UU Tapera tetap berlaku untuk sementara, selama proses penataan ulang legislasi berlangsung.

Pembentuk UU — yaitu DPR dan Pemerintah — diberi waktu paling lama dua tahun untuk merevisi dan menyusun pengaturan baru yang lebih adil dan konstitusional.

MK mengingatkan bahwa revisi harus memperhitungkan dampak bagi iuran dan aset peserta Tapera, entitas pelaksana (seperti BP Tapera), serta lembaga keuangan terkait agar tidak menimbulkan gangguan administratif atau risiko hukum.

Gugatan yang Memicu Putusan

Gugatan terhadap UU Tapera diajukan oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto (Nomor Perkara 96/PUU-XXII/2024). Dalam pertimbangannya, MK menyepakati bahwa karakter UU Tapera sudah merubah makna “tabungan” yang sebelumnya bersifat sukarela menjadi sejenis pungutan yang memaksa, yang kemudian dinyatakan bertentangan dengan konstitusi.(Team)