Toba, Lintangnews.com | Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) IV Balige menyatakan, secara hukum wilayah Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba masih berada di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL).
Ini membuat perusahaan pengelola pemanfaatan hasil hutan dibebankan untuk melakukan pengawasan dan pengamanan lahan. Apabila tidak dilakukan, maka akan dievaluasi.
Hal dikatakan Kepala KPH IV Balige, Leonardo Sitorus, dalam keterangannya, Jumat (28/5/2021). Hal itu dikatakan Leonardo terkait dengan perselisihan kawasan lahan yang diklaim sebagai hutan adat, antara masyarakat Desa Natumingka dengan perusahaan penghasil bubur kertas tersebut.
“Terkait Natumingka mulai dari lahan register sudah merupakan kawasan hutan, dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1984, kawasan ini menjadi kawasan Hutan Produksi. Hal itu juga diatur dalam SK Menhut Nomor 44 Tahun 2005 yang menyebutkan kawasan itu menjadi kawasan hutan lindung,” ujar Leonardo.
Lebih lanjut dikatakan, SK Menhut Nomor 44 Tahun 2005 kembali direvisi, dan diganti dengan SK Menhut Nomor 579 Tahun 2014 yang menyebutkan, kawasan itu kembali menjadi kawasan Hutan Produksi (HP) tetap, serta dilakukan tapal batas sehingga dikembalikan fungsi awalnya.
Leonardo juga menjelaskan, Kementerian Kehutanan (Kemnhut) kembali mengeluarkan SK Menhut Nomor 1076 Tahun 2017 tentang Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara. Dalam SK itu dikatakan wilayah Natumingka adalah kawasan hutan produksi, sehingga tetap masih dikelola oleh PT TPL.
“Pemerintah juga mengeluarkan SK Menhut Nomor 8088/Menlhk-PKTI/KUH/PLA.2/11/2019 tentang perkembangan tapal batas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Utara, isinya kawasan Natumingka tetap dalam lahan konsesi PT TPL dan dibebankan untuk menjaga keamanan dan pengawasan,” tegasnya lagi.
Menurut Leonardo, pihaknya juga telah melakukan investigasi dan inventarisir, terhadap kawasan Natumingka yang diklaim sebagai tanah adat oleh masyarakat. Termasuk keberadaan situs makam, bekas persawahan dan bekas perladangan. Hasilnya memang kawasan terebut adalah wilayah konsesi (HTI) perusahaan.
Hasil investigasi dan inventarisir dari KPH IV Balige telah disampaikan melalui surat pada masyarakat Natumingka, dan ditembuskan ke sejumlah instansi terkait, termasuk pihak Polres Toba. Namun untuk menyelesaikan perselisihan itu, KPH IV Balige memberikan rekomendasi di antara kedua belah pihak.
“Masyarakat harus mengurus klaim hutan adat secara legal formal, ketika telah ditetapkan Menhut jika kawasan itu hutan adat, maka masyarakat dapat mengelolanya,” ujarnya.
Atau bila masyarakat mengklaim lahan dimaksud milik keturunan opung (nenek moyang) mereka, maka dapat dilakukan pelepasan kawasan hutan melalui Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) sesuai persyaratan dan Undang-Undang (UU) yang berlaku.
“Sebelum ada penetapan dari yang berwenang, tentunya status hukum kawasan itu hutan produksi tetap yang dibebankan kepada PT TPL sesuai dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) HTI,” tuturnya.
Untuk mengatasi perselisihan itu, KPH IV Balige juga memberikan masukan kepada perusahaan dan masyarakat, yakni melaksanakan kegiatan kemitraan dengan pola tumpang sari atau sejenisnya yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan (Pemenhut).
Dalam hal ini pihak PT TPL melakukan kegiatan sesuai dengan hak serta kewajibannya. Termasuk melakukan kemitraan dengan masyarakat dengan tidak mengganggu sejumlah situs yang telah diinventarisir oleh KPH IV Balige.
“PT TPL melakukan hak dan kewajibannya dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat sesuai peraturan dan perundang-undangan,” sebut Leonardo. (Aldy)