Siantar, Lintangnews.com | Wali Kota Siantar, Hefriansyah tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan insan pers.
Pria yang telah 4 tahun memimpin Siantar itu dianggap melecehkan profesi jurnalis atau wartawan.
Seperti diketahui, polemik ini bermula pada Selasa (11/8/2020), saat dirinya dikonfirmasi sejumlah awak media usai mengikuti rapat paripurna bersama DPRD Siantar.
Pertanyaan yang diajukan wartawan terkait kunjungannya ke Sekretariat Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) beberapa waktu lalu. Dan tampaknya, pertanyaan dimaksud membuat orang nomor 1 di Kota Sapangambei Manoktok Hitei itu ‘berang’.
Kalimat ‘makanya kau cari pakai otak’ yang terlontar dari Hefriansyah, sontak saja memantik reaksi keras dari beberapa kalangan, utamanya pegiat pers, organisasi mahasiswa dan praktisi hukum. Bahkan dalam 3 hari ini, ucapan Wali Kota itu menjadi headline sejumlah media cetak, media online maupun media elekronik.
Pertanyaan maupun pernyataan atas polemik ini kian deras mengalir. Apakah patut seorang kepala daerah mengucapkan kalimat demikian saat tengah dikonfirmasi terkait kinerjanya.
Menurut Pranoto salah seorang Advokat muda, Pancasila sebagai dasar ideologi dan penyelenggaraan negara, telah jelas mengamanahkan dalam sila ke IV, ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’.
Pranoto menuturkan, Wali Kota sebagai orang yang dipilih secara demokratis melalui Pemilu dan berada dalam sumpah jabatan, menjadi mutlak dalam mengemban dan mengamalkan isi Pancasila.
Menurutnya, kebijaksanaan Hefriansyah itu tentu sangat berpengaruh tehadap pembangunan mental maupun spiritual rakyatnya.
“Teori kedaulatan rakyat yang juga telah lama berpengaruh didalam iklim demokrasi kita, tentu memberikan pemahaman bahwa sejatinya lembaga negara maupun pemerintahan ialah mereka yang diamanahkan untuk melayani, mengayomi, mencerdaskan, bahkan melindungi segenap tumpah darah Indonesia sesuai isi pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,” terang Alumni Fakultas Hukum Universitas Simalungun (USI) ini, Jumat (14/8/2020).
Dijelaskan pakar hukum ini, etika jabatan juga akan senantiasa melekat, kendati pun orang dalam jabatan itu tidak tengah bertugas. Maka, apa yang disampaikan Wali Kota Siantar terlihat kontradiktif dengan amanah Pancasila dan UUD 1945.
Padahal, selain itu, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme telah menegaskan, bahwa setiap penyelenggara negara diberikan hak menyampaikan pendapat di muka umum maupun kritik masyarakat dengan penuh rasa tanggung jawab.
“Begitupun dengan azas kepatutan yang mendasari tata kelola pemerintahan yang baik (good government), tentu apa yang terjadi adalah sebuah pelanggaran norma etika oleh Wali Kota selaku penyelenggara negara berdasarkan UU,” ucap Pranoto.
Sambungnya, jika informasi dan pertanyaan yang disampaikan jurnalis tidak benar ataupun keliru, menurut azas kepatutan itu, maka tidak lah patut Wali Kota, Hefriansyah menjawab dengan kalimat yang berpotensi menimbulkan ‘kegaduhan publik’.
“Mengutip pernyataan Budayawan Emha Ainun Nadjib, bahwa partai politik adalah alat untuk menuju kekuasaan, namun setelahnya, pemimpin yang terpilih tidak lagi menjadi bagian dari partai. Pemimpin itu harus mengabdikan diri dan jiwanya untuk rakyat dan Indonesia, maka disetiap jiwa pemimpin ada rakyatnya. Dia akan takut menyakiti hati rakyatnya, karena dia tau Tuhannya akan marah. Dan dia akan takut menyakiti Tuhan nya, karena dia tau rakyatnya akan sengsara,” tutup Pranoto. (Elisbet)


