Simalungun, Lintangnews.com | Robert Tua Siregar salah seorang Akademisi mengatakan perkembangan industri kelapa sawit yang pesat di Indonesia tentu memiliki dampak positif dan negatif.
Dampak positif yang ditimbulkan antara lain, dapat meningkatkan perekonomian negara sebab nilai ekonomi tanaman ini yang cukup tinggi dan berdaya saing.
Adanya industri kelapa sawit ini juga akan menopang kehidupan masyarakat, seperti menyediakan lapangan pekerjaan sehingga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Namun, di tengah perannya yang besar terhadap perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia, industri kelapa sawit harus menghadapi berbagai tantangan yang semakin besar, khususnya mengenai isu lingkungan,” sebut Robert melalui pers release nya, Senin (24/10/2022).
Menurutnya, perluasan lahan perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan, khususnya pada lahan gambut. Sehingga akan menyebabkan degradasi lahan (kerusakan lahan) dimana lahan mengalami penurunan produktivitas.
Pembakaran lahan pada saat deforestasi juga akan menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berakibat meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca pada atmosfer.
“Hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi mengalami pemanasan secara global. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, akan menyebabkan climate change. Untuk mengurangi dampak negatif industri kelapa sawit terhadap lingkungan, terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan sebagai mitigasi atau mengurangi emisi karbon. Di antaranya adalah melakukan evaluasi kesesuaian lahan, yaitu dengan mengidentifikasi karakteristik lahan gambut sebelum melakukan deforestasi untuk pembukaan lahan perkebunan. Selain itu, juga dapat mengaplikasikan teknik zero burning yaitu teknik pembukaan lahan tanpa melakukan pembakaran pada lahan,” urainya.
Tentunya, untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan juga diperlukan dukungan kebijakan pemerintah. Salah satunya yaitu telah dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 11 Tahun 2015 tentang penerapan ISPO atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Penerapan ISPO dimaksudkan untuk menjamin keberlanjutan perkebunan kelapa sawit melalui penerapan 7 prinsip dan kriteria. Pengelolaan lahan gambut dalam ISPO didukung dengan peraturan Permentan Nomor 14 Tahun 2009 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2011. Berbagai upaya pencegahan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
“Langkah ini dilakukan untuk bisa mengkontrol dan menjaga keseimbangan semua aspek, termasuk ekonomi, sosial masyarakat, dan ekologis dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan hidup,” terang Robert.
Ph D specialist planning development area ini mengatakan, ketika pemanfaatan lahan melampaui daya dukungnya, maka alam bukan lagi menjadi sumber daya melainkan bencana. Karena itu perlu ada pengaturan keseimbangan antara alam dan kebutuhan ruang, termasuk perlindungan lahan pertanian dalam penataan ruang.
Hasil research dari beberapa refrensi kelapa sawit dapat tumbuh baik di daerah tropika basah (12o LU-12 o LS) dengan tipe iklim Af dan Am (Koppen) maupun A, B dan C (Schmidt & Ferguson) dengan elevasi 0-600 m.
Lanjut Robert, pengembangan kelapa sawit di dataran tinggi (> 600 m dpl) tidak disarankan karena kondisi iklim yang kurang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan kelapa sawit.
Tidak disarankan bukan berarti tanaman kelapa sawit tidak bisa tumbuh di ketinggian tersebut. Tanaman kelapa sawit tetap dapat tumbuh dan berkembang, namun untuk memperoleh produktivitas yang optimal perlu manajemen kultur teknis yang tepat dan tentunya butuh biaya yang tidak sedikit. Pada ketinggian yang lebih, pertumbuhan akan terhambat dan produksi lebih rendah (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).
Ketua Forum DAS Asahan Toba ini mengatakan, faktor lokasi rencana PTPN IV yang berada pada ketinggian diatas 600 dpl tentu sudah tidak lagi mengacu kepada ketentuan ilmiah dan rasional serta dampak.
“Mengacu pada refrensi di atas, jika kita mencermati rencana konversi lahan di perkebunan PTPN IV pada lahan DAS Hulu dan daerah ketinggian di atas 600 dpl, tentu sudah sangat dipaksakan atau hanya memenuhi ‘profit oriented’ (mungkin analisis produk teh lebih rugi dari pada sawit walau hanya profit tidak optimal) tanpa melihat dampak lingkungan,” ujarnya.
Robert menilai, tentunya pemerintah dalam hal inj Pemkab Simalungun melalui Dinas Lingkungan Hidup saat ini sudah arif dan bijaksana telah mengeluarkan sanksi administratif atas rencana konversi tanaman tersebut.
Dengan adanya surat ‘sanksi laporan administratif’ tersebut, maka sikap Pemkab Simalungun sudah tegas tidak akan memberikan persetujuan administrasi.
“Hal ini tentu perlu kita dukung, dengan catatan harus konsisten pada komitmen lingkungan. Untuk itu pihak PTPN IV harus mengacu kepada dampak dan kemaslahatan, jangan terlalu memaksakan. Karena konversi lahan disa dilakukan pada lahan dan factor yang tepat, jika tidak akan mengakibatkan dampak lingkungan,” tutup Robert. (Rel)