HBB Minta Kapolri Terbitkan Pedoman Penanganan Kasus Penistaan Agama

Siantar, Lintangnews.com | Polemik tentang pasal penistaan agama yang menjerat 4 orang tenaga kesehatan (nakes) di RSUD Djasamen Saragih Kota Siantar mengundang keprihatinan bagi banyak kalangan.

Dalam hal ini, tak seharusnya nakes yang hanya memandikan jenazah ditetapkan tersangka oleh Polres Siantar, walaupun akhirnya dihentikan penuntutannya oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) setempat.

Sejumlah perkara yang menjerat para tersangka pasal penistaan agama hingga saat ini masih multi tafsir di tengah masyarakat, bahkan bagi kalangan ahli hukum sendiri. Kerap orang-orang yang ditersangkakan dan dihukum dengan pasal penistaan agama justru sesungguhnya merasa tidak melakukan perbuatan sesuai dengan rumusan pasal penistaan agama.

Untuk mencegah hal seperti itu, DPP Horas Bangso Batak (HBB) meminta Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk menerbitkan pedoman penanganan perkara tentang penistaan agama.

Atau keputusan bersama antara Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman disusun bersama dengan ahli hukum yang bertujuan untuk mencegah adanya kesan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dilaporkan dengan pasal penistaan agama.

Hal itu ditegaskan Ketua Umum HBB, Lamsiang Sitompul karena melihat banyaknya opini yang terjadi justru pasal 156(a) KUHP itu sering dimanfaatkan sekelompok orang untuk mengkriminalisasi orang lain, dengan memaksakan penafsiran pasal penistaan agama menurut pendapatnya.

“Karena kalau kita lihat orang-orang yang ditersangkakan dengan pasal ini sejujurnya tidak melakukan satu perbuatan sesuai dengan apa yang dirumuskan dalam Undang-Undang (UU) itu,” ujar Lamsiang, Sabtu (27/2/2021).

Bahkan menurutnya, jika mencermati isi UU itu, penistaan agama adalah tindakan yang menganjurkan atau melakukan kegiatan ajaran agama menyimpang dari ajaran agama tertentu. Lamsiang berpendapat, penistaan agama lebih kepada ajaran sesat seperti kasus Lia Eden atau Akhmad Musadeq.

“Banyak kasus-kasus yang selama ini dituduh menista agama jutru menjadi polemik di masyarakat. Misalnya kasus Arswendo, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di DKI, Meiliana di Tanjung Balai dan sebagainya,” sebut Lamsiang.

Untuk itu, pihaknya menyarankan agar Kapolri bersama Kejaksaan, Kehakiman dan Ahli Hukum Pidana untuk membuat pedoman penanganan perkara tentang penistaan agama.

Lamsiang menuturkan, orang-orang sering merasa dikriminalisasi dengan pasal itu. Dia menjelaskan, perbuataan-perbuatan para tersangka yang selama ini terseret dalam perkara penistaan agama justru tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal penistaan agama tersebut.

“Kalau kita baca pasal tentang penistaan agama sesuai pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 menyatakan, setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia. Atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai dari agama itu. Penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu,” sebutnya.

Keputusan bersama Kepolisian bersama Kejaksaan, Kehakiman serta Ahli Hukum Pidana itu dapat menjadi acuan kepada semua penyidik , penuntut umum maupun hakim dalam menangani perkara agar jangan sampai ada kesan dikriminalisasi dengan pasal penistaan agama. (Tua)