Tebingtinggi, Lintangnews.com | Lahan seluas 82 hektar yang terletak di areal Kampung Panguripan, Desa Paya Bagas, Kecamatan Tebingtinggi, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai) menjadi rebutan antara Kelompok Tani (Poktan) Panguripan dan PTPN III Kebun Rambutan.
Bahkan ratusan massa dari Poktan Panguripan nyaris bentrok dengan massa dari pihak PTPN III Kebun Rambutan di lokasi, Rabu (24/10/2018). Ini setelah massa datang untuk mengambil lahan yang diklaim milik mereka.
Berikut kronologi status lahan 82 hektar yang diklaim masuk Hak Guna Usaha (HGU) PTPN III Kebun Rambutan sesuai wawancara dengan Ketua Poktan Panguripan, Suwarno.
Menurutnya, tahun 1936 lahan itu sudah dikuasai warga. Kemudian tahun 1954, warga sudah memiliki Kartu Register Pendaftaran Tanah (KRPT) sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1954.
Dikatakan Suwarno, mulai tahun 1966 warga menempati lahan tersebut dengan membangun rumah sebagai tempat tinggal. Namun pihak PTP V Rambutan saat itu menggusur wargas, dengan perintah agar mengosongkan lahan tersebut. Akibatnya 186 orang warga berserakan mencari tempat tinggal tidak jauh dari lahan tersebut.
“Penggusuran paksa itu membuat warga terpaksa meninggalkan lahan, sehingga mereka bingung mencari tempat tinggal,” kata Suwarno.
Namun, tahun 1998 dilakukan perjuangan oleh Poktan Panguripan dengan mengambil tanah yang dikuasai pihak perkebunan. Sesuai data dimiliki masyarakat, tanah berhasil dikuasi kembali sejak tahun 1999.
Bulan Februari tahun 2010 pihak PTPN III Rambutan mencoba merebut kembali, namun mereka gagal disebabkan tidak ada data akurat kepemilikan.
Bulan April 2010, pihak perkebunan dibantu personil Polres Tebingtinggi mencoba merebut lahan itu, sehingga terjadi bentrok. Namun eksekusi dilakukan pihak perkebunan gagal, walaupun sudah berusaha mengusir warga dari lahan tersebut.
“Pada bulan April tahun 2010 terjadi bentrok antar massa dengan petugas dari Kepolisian, namun eksekusi gagal dilakukan,” terang Suwarno.
Keberhasilan pihak PTPN III Rambutan menguasai lahan dengan bulan Maret tahun 2011. Saat itu dirinya masuk penjara dengan dalih pemalsuan id card atau kartu identitas suatu organisasi. Masyarakat kembali diusir setelah rumah warga, tempat ibadah dan kantor KUA dihacurkan pihak perkebunan.
“Saya dipenjarakan dengan alasan tidak masuk akal. Itu lah kesempatan mereka bisa menguasai lahan tersebut. Namun kami kembali perjuang dalam memuntut hak kami,” ucap Suwarno. (PS)