Jual Parawisata di Sekitaran Danau Toba, Pramuwisata Harus Paham Budaya Batak

Tobasa, Lintangnews.com | Pemkab Toba Samosir (Tobasa) menggelar Workshop Storytelling dalam upaya pemahaman tentang kekayaan budaya Batak kepada pramuwisata (pemandu wisata), yang sesungguhnya memiliki nilai jual untuk pengembangan wisata di Kabupaten sekitaran Danau Toba.

Kepala Bidang Kemitraan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemkab Tobasa, August Karokaro menjelaskan, kegiatan Storytelling digelar selama 3 hari mulai tanggal 17-19 Juli 2019.

Sementara hari terakhir pramuwisata akan diajak praktek langsung ke objek wisata, Singgolom, Makam Pahlawan Sisingamangaraja, Makam Nomensen, Siregar Aeknalas dan Piso Somalia di Naga Timbul, serta Taman Eden 100.

Sebagai narasumber, Nestor Rico Tambun, seorang pemerhati budaya yang sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI) memaparkan, pemahaman budaya sebagai faktor utama dalam pengembangan pariwisata di kawasan sekitaran Danau Toba. Sebab budaya Batak sangat layak untuk dijual kepada wisatawan khususnya di Kabupaten Tobasa.

“Sebagai seorang pramuwisata, sudah seharusnya memahami tentang budaya di Kabupaten Tobasa mempunyai nilai-nilai keariban lokal yang tidak dimiliki oleh daerah lain, dikemas dalam sebuah cerita (storytelling) untuk menarik minat wisatawan berkunjung,” terang Nestor.

Menurut Nestor, salah satu pola hidup masyarakat Batak, ‘Dalihan Natolu’ sebuah maha karya yang diciptakan untuk mengatur tatanan kehidupan di masyarakat Batak yang tidak ada di daerah lain.

Sehingga dengan Dalihan Natolu, dalam kehidupan masyarakat Batak terwujud kerukunan hidup yang saling menghargai satu dengan yang lainnya.

“Ini dapat dikemas dalam sebuah cerita dengan penggalian cerita yang menarik untuk ditampilkan kepada wisatawan,” tutur Nestor.

Sementara, menurut Kus Endro dari Himpunan Pramuwisata Indonesia Medan mendukung apa yang dipaparkan oleh Nestor. “Sebab sebagai ujung tombak pariwisata adalah pramuwisata, dimana kamus berjalan pramuwisata harus memiliki banyak bahan cerita (materi),” sebutnya.

Materi itu harus layak disampaikan kepada wisatawan, terutama kearifan lokal, untuk itu storytelling sangatlah berhubungan dengan pramuwisata.

Dimana ketika bekerja diwajibkan untuk bercerita, untuk pepatah diam itu emas tidak berlaku bagi pramuwisata. Saat pepatah tersebut dilakukan oleh seorang pramuwisata, maka akan menjadi ‘Diam itu Musibah’.

“Jadi untuk menjadi seorang pramuwisata, kita harus terlebih dahulu memahami, mengenal, mengerti dan mempelajari Masyarakat, Seni dan Budaya serta Kehidupan daerah obyek wisata, agar kita dapat menyampaikan kepada wisatawan secara benar,” papar Kus Endro. (acon)