Simalungun, Lintangnews.com | Semua sepakat Danau Toba merupakan aset yang sangat penting dan memiliki multi fungsi.
Namun pemanfaatannya telah menimbulkan berbagai dampak terhadap kualitas ekosistem danau. Meskipun demikian, perlu diingat, bahwa pembangunan dan kegiatan ekonomi merupakan penggerak kesejahteraan masyarakat.
Danau Toba merupakan salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.
Selainkepentingan pariwisata, Danau Toba juga dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, seperti pembangkit listrik tenaga air, sumber air baku air minum, transportasi dan budidaya perikanan.
Keadaan kualitas Perairan Danau Toba yang pada dasarnya dipengaruhi oleh kegiatan manusia, terutama pemukiman penduduk, peternakan, pertanian, perindustrian dan perdagangan termasuk hotel, restoran dan transportasi air.
Menurut Binsar Situmorang selaku Ketua Penataan KJA Danau Toba yang juga Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara Bidang Polhukam, Jumat (2/12/2022), saat ini pemerintah daerah tengah melakukan penataan Keramba Jaring Apung (KJA) dan langkah-langkah yang telah dilakukan diantaranya penertiban di beberapa titik lokasi.
Binsar mengatakan, penataan ini dilakukan guna mengikuti peraturan yang tengah berlaku saat ini dengan merujuk Surat Keputusan (SK) Gubsu Tahun 2017 tentang Daya Dukung Daya Tampung (DDDT) Danau Toba sebesar 10 ribu per tahun.
Namun begitu, dengan adanya kajian terkini dari Dinas Lingkungan Hidup Sumut terkait DDDT yang menyebutkan, sekitar 55 ribu per tahun dengan status kesuburan air yakni mesotrofik, dapat menjadi pertimbangan dan rujukan utama dalam melakukan peninjauan ulang terhadap peraturan penataan KJA dan SK Gubsu.
“Pada dasarnya, kegiatan budidaya perikanan ini dapat dilakukan dengan syarat mengedepankan tata kelola pembangunan berkelanjutan, di mana aspek ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan beriringan. Salah satunya dengan mematuhi zona budidaya ikan KJA sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 81 Tahun 2013,” ujar Ternala Barus selaku Ketua Peneliti Kajian DDDT.
Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) ini baru saja merampungkan penelitiannya di 2022 terkait DDDT Danau Toba yang diinisiasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Sumut.
Dalam sosialisasinya di hadapan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu), Pemerintah Kabupaten di sekitar Danau Toba serta dinas terkait, Ternala menyampaikan, hasil kajian DDDT Danau Toba yakni sebesar 55.083,16 ton per tahun.
Daya dukung ini tentu dapat dijalankan dengan mengaplikasikan tata kelola pembangunan yang berkelanjutan, yang meliputi pertumbuhan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Usaha KJA terus berkembang hingga saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan produksi ikan nila di Danau Toba sebesar 80.941 ton dengan rata-rata produksi 62 ribu ton per tahunnya, belum termasuk jenis ikan lainnya yang dibudidayakan. Kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik regional bruto 21 persen.
Selanjutnya Parulian dan Dahri Tanjung, peneliti dari Care LPPM IPB menyampaikan, hasil kajian tahun 2021 yang bekerja sama dengan LPDP menemukan bahwa kualitas air Danau Toba dalam status mesotrofik.
Ada pun daya dukung daya tampungnya berkisar 33.830-101.435 ton per tahun dan merekomendasikan sebesar 60.000 ton per tahun. Dengan status kesuburan air mesotrofik, maka kegiatan perekonomian dapat dilakukan di Danau Toba seperti kegiatan pariwisata, sumber bahan baku air minum, transportasi air, pertanian dan perikanan dengan tetap mengedepankan keberlanjutan lingkungan.
Parulian menambahkan, keberadaan usaha KJA sudah jelas memberikan kesejahteraan bagi masyarakat yang terlibat dan menjadi usaha penopang perekonomian yang dapat bertahan bahkan saat masa pandemi sekalipun.
Kehadiran KJA di Danau Toba mampu memberikan multiplier effects ekonomi yang cukup besar, yaitu mendekati Rp 5 triliun per tahun, yang dapat mengurangi ketimpangan sosial ekonomi antar wilayah dan kelompok,” paparnya.
Untuk itu para peneliti merekomendasikan revisi SK Gubsu dilakukan berdasarkan beberapa hasil penelitian terbaru di atas serta pengelolaan KJA di masa mendatang.
Sebaiknya KJA harus ramah lingkungan (teknologi konservasi), berstandar manajemen budidaya berkelanjutan, dan terintegrasi KJA- pariwisata berkelanjutan, serta perlu memiliki izin. (Rel/Zai)