Jakarta, Lintangnews.com | Hadi Kurniawan dan Tajudin meluncur ke Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dua pecatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang beralamat di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu, pergi menemui Mayor Jenderal (purnawirawan) Kivlan Zein. Pertemuan ketiganya terjadi pada Maret 2019 lalu.
Pileg dan Pilpres serentak, yang mempertarungkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin melawan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sebentar lagi berlangsung. Suhu politik menjelang pemungutan suara pada 17 April 2019 pun memanas.
Kepada Kurniawan alias Iwan, Kivlan memberikan uang senilai Rp 150 juta dalam bentuk dolar Singapura. Uang yang diduga berasal dari pengusaha dan politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Habil Marati itu diperintahkan untuk dipakai membeli senjata api.
Tak hanya uang. Kivlan juga menyodorkan daftar target operasi pembunuhan berencana kepada Iwan dan Udin. Ada empat tokoh yang hendak mereka habisi, yaitu Menko Polhukam Jenderal (purnawirawan) Wiranto, Menko Kemaritiman Jenderal (purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal Budi Gunawan, serta mantan Komandan Densus 88 Antiteror Komisari Jenderal Polisi Gories Mere.
Karena tak kunjung mendapatkan senjata, Kivlan, berdasarkan video pengakuan Iwan yang diputar dalam jumpa pers Mabes Polri dan TNI pada Selasa 11 Juni 2019 di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, mengejar-ngejar. Akhirnya Iwan dapat mengantongi beberapa senjata api yang dicari.
Pertama Taurus revolver 38 Magnum. Pistol itu ia beli dari perempuan bernama Asmaizulfi Moerwanto Soeprapto alias Fifi Soeprapto seharga Rp 50 juta. Fifi adalah relawan Prabowo-Sandi. Ia sempat ikut demo emak-emak menentang kenaikan harga telur dan kriminalisasi terhadap ulama.
Senjata lainnya Glock Mayer kaliber 22 dan Ladies Gun kaliber 22. Senjata itu diperoleh Iwan dari pria bernama Admil. Pistol Mayer diserahkan kepada Aswarmi alias Armi, sopir sekaligus ajudan Kivlan. Sedangkan senjata Ladies Gun dipegang eksekutor Udin untuk memantau target pembunuhan.
Adapun Iwan sendiri menenteng Taurus revolver 38 Magnum. Iwan membawa senjata itu saat turun aksi Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) di depan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada tanggal 21-22 Mei 2019 lalu. Aksi untuk menuntut agar Bawaslu mendiskualifikasi capres-cawapres Jokowi-Maruf itu berakhir dengan ricuh.
Iwan menyiapkan 100 butir peluru. Ia mengklaim peluru itu sebagai antisipasi apabila menemukan massa tandingan dan membahayakan anak buahnya. “Dan tanggal 21 (Mei) itu adalah aksi pemanasan demo di KPU, cuma karena memang massanya belum ramai saya segera kembali ke pangkalan, yaitu di Jalan Proklamasi No 36,” kata dia.
Di Jalan Proklamasi No 36 terdapat sebuah rumah yang pada 2014 dipakai sebagai markas Djoko Santoso Center. Pada saat itu, mantan Panglima TNI tersebut secara terbuka mendeklarasikan dukungan kepada capres-cawapres Prabowo-Hatta Rajasa. Kini, Djoko Santoso menjadi Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Di lokasi itu pula, GNKR dideklarasikan dan rencana menggelar aksi 21-22 diumumkan kepada publik pada 17 Mei. Hadir dalam acara itu anggota BPN Prabowo-Sandi, Titiek Soeharto, juga Amien Rais. Titiek berpidato meminta agar capres-cawapres Jokowi-Ma’ruf didiskualifikasi karena pihaknya dicurangi.
Menurut Wadir Reskrimum Polda Metro Jaya, AKBP Ade Ary, Habil juga memberikan uang secara langsung kepada Iwan. Uang sejumlah Rp 60 juta itu terbagi dalam dua bagian, Rp 10 juta untuk operasional dan Rp 50 juta untuk unjuk rasa. “Langsung diterima HK (Hadi Kurniawan),” kata Ary dalam jumpa pers di Kemenko Polhukam.
Selain untuk pembunuhan empat tokoh, Kivlan juga mengorder pembunuhan terhadap direktur lembaga survai Charta Politika, Yunarto Wijaya. Rencana itu dimulai saat Armi menghubungi Irfansyah pada 19 April, dua hari pasca pemungutan suara, yang hasilnya, dari quick count berbagai lembaga survei termasuk Charta, menang Jokowi-Ma’ruf.
Armi menghubungi Irfansyah untuk bertemu dengan Kivlan di Masjid Pondok Indah pada 20 April. Irfansyah berangkat bersama temannya, Yusuf, mengendarai Suzuki Ertiga. Tiba di lokasi, muncul Kivlan bersama dengan sopirnya, Eka. Usai melakukan salat Ashar, Kivlan kemudian mengajak keduanya berbicara di dalam mobil.
“Lalu Pak Kivlan keluarkan HP dan menunjukkan alamat serta foto Pak Yunarto lembaga quick count, dan Pak Kivlan berkata pada saya ‘coba kamu cek alamat ini, nanti kamu foto dan videokan.’ Siap saya bilang,” kata Irfansyah.
Sebelum berpisah, Kivlan memerintahkan sopirnya mengambil uang Rp 5 juta untuk makan dan bensin kendaraan Irfansyah dan Yusuf. Kivlan juga masih menitip pesan, bila ada yang bisa mengeksekusi Yunarto, anak-istri eksekutor akan dijamin dan bisa liburan ke mana pun.
Keesokan harinya, sekitar pukul 12.00 WIB, Irfansyah dan Yusuf langsung memantau situasi rumah Yunarto. Mereka mengambil foto dan video suasana rumah. Bukti foto-video itu kemudian dikirimkan kepada Armi. Pemantauan itu dilakukan kembali keesokan harinya.
“Setelah itu kami foto dan video dan setelah itu seperti biasa Yusuf kirim foto ke saya, saya kirim ke Armi, tapi Armi tak pernah jawab lagi,” ujar Firmansyah. Ia sendiri mengaku ditangkap pada 21 Mei 2019 oleh polisi. Sedangkan Yusuf hingga saat ini masih berstatus DPO.
Selain Irfansyah, nama-nama yang terlibat dalam dugaan permufakatan jahat pembunuhan ini telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka rencana pembunuhan dan dugaan kepemilikan senjata ilegal. Termasuk Kivlan dan Habil Marati. Kivlan, yang ditahan di rutan Guntur, juga menjadi tersangka makar terhadap negara.
Pengacara Kivlan, Muhammad Yuntri, mengakui kliennya memang memberikan uang kepada Iwan. Namun, menurut dia, uang itu bukan untuk membeli senjata, melainkan untuk demo memperingati keluarnya Surat Perintah Sebelah Maret, 11 Maret 2019.
“Sekitar bulan Maret itu beliau ini kan sangat anti-komunis banget, jadi momentum Supersemar. ‘Wan, ini coba kau bikin momentum demo lah entah apa untuk momentum Supersemar, anti-PKI, dikasihlah dana, yang disebutkan itu 10 ribu dollar Singapura,” kata Yuntri.
Usai diberi uang, Iwan menghilang entah ke mana. Yuntri juga tidak tahu apakah unjuk rasa memperingati Supersemar itu jadi atau tidak dilaksanakan oleh Iwan. Adapun terkait pertemuan Kivlan dengan Firmansyah, Yuntri mengaku tidak tahu sama sekali.
Namun, hingga kini, Polri masih menyelidiki secara intensif siapa aktor yang berada di atas Habil Marati. Telepon dan rekening korannya telah disita. Sementara itu, PPP menyatakan perbuatan Habil bersifat pribadi. Habil sendiri sempat menjadi caleg PPP dapil Sultra namun tidak lolos.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane pada 31 Mei menyebut masih ada dua lagi penyandang dana kerusuhan 22 Mei selain HM (Habil Marati). Mereka diduga mendatangkan massa perusuh dari Surabaya menggunakan pesawat dan mencarikan penghinapan di seputaran Jalan Wahid Hasyim.
“Polri perlu bekerja cepat membongkar jaringan perusuh 22 Mei ini agar gerakan mereka bisa dipagar betis dan tidak memiliki peluang lagi dalam melakukan kerusuhan baru pasca-pengumuman hasil sidang di Mahkamah Konstitusi maupun saat pelantikan presiden hasil Pilpres 2019,” kata Neta.
Artikel ini telah tayang di detik.com dengan judul ‘Rencana Gagal Pembunuhan Empat Jenderal‘