Tobasa, Lintangnews.com | Sehubungan dengan program pemerintah yang menjadikan kawasan Danau Toba menjadi bagian program percepatan parawisata nasional telah menyita perhatian banyak pihak. Pasalnya, pengembangan wisata kelas dunia ini turut membawa perencanaan wisata halal.
Gagasan itu dianggap tidak menghargai apa yang sudah membudaya dalam masyarakat setempat atau di daerah Danau Toba, terutama ketika menyangkut penataan ternak dan pemotongan babi di kawasan tersebut.
Hal itu pun ditentang ramai-ramai, baik warga seputar Danau Toba maupun yang tinggal sementara atau menetap di perantauan. Ini mengingat wisata di kawasan Danau Toba adalah berbasis budaya yang seharusnya dipertahankan sebagai ciri khas.
Salah seorang anak rantau yang sudah terbilang sukses di Papua, Dolok M Panjaitan kepada awak media, pada Senin (2/9/2019) menyatakan, konsep wisata kawasan Danau Toba adalah berbasis budaya, dimana binatang babi merupakan salah satu simbol adatnya.
Di setiap acara atau kegiatan budaya Batak, daging babi kerap diletakkan di tengah-tengah kumpulan warga yang menyelenggarakan pesta. Karenanya, ciri khas ini justru mesti dipertahankan bahkan dipromosikan sebagai kekayaan kuliner setempat.
“Sebagai warga Batak perantau di Papua yang kental dengan tradisi itu sangat terusik dengan ide atau wacana wisata halal jika diterapkan di tanah lelulur saya,” tegasnya.
Dolok menuturkan, perlu diketahui bahwa warga di kawasan Danau Toba menjunjung budaya Pancasila dan menghargai keberagaman suku dan agama. Karena itu di pesta Batak, untuk menghargai perbedaan, maka selalu disediakan hidangan yang sesuai aturan agama para tamunya.
Lanjutnya, konsep halal dan haram tidak pernah diatur dalam dasar hukum Indonesia. Konsep halal dan haram ini malah bisa menimbulkan kesombongan rohani antara kelompok agama.
Ini ebagaimana didefinisikan oleh organisasi turis dunia, UNWTO bahwa sistem keparawisataan seharusnya menghormati keaslian sosial-budaya masyarakat setempat, melestarikan warisan budaya dan nilai-nilai tradisional yang dibangun dan hidup, serta berkontribusi pada pemahaman dan toleransi antar budaya.
Wisatawan mancanegara bukan hanya berasal dari Malaysia dan Brunei saja. Berdasarkan website Badan Pusat Statistic Provinsi Bali tahun 2017, negara penyumbang wisatawan adalah China (1.356.412), Australia (1.062.039), India (264.516), Jepang (249.399), Inggris (240.633), Amerika (189.814), Perancis (176.710), Jerman (176.470) dan Korea Selatan (161.765).
“Bagaimana dengan Thailand sendiri, dimana kita ketahui negara itu cukup fantastis dalam menarik wisatawan mancanegara. Jadi alasan dengan wacana wisata halal untuk menarik atau meningkatkan jumlah wisatawan adalah wacana sia-sia yang tidak berdasar,” paparnya.
Menurutnya, jika memang mau mempromosikan wisata kawasan Danau Toba yang tak kalah bersaing dengan negara lain maka logistik, infrastruKTURdan kemudahan lainnya bagi wisatawan mesti ditingkatkan dan disokong oleh pemerintah. Selain itu, masalah pencemaran lingkungan harus diatasi.
Dolok juga menambahkan, jika ada yang menyatakan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pasca penerapan wisata halal mampu mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD), maka hal itu tidak tepat di Danau Toba. Ini karena di NTB tidak ada benturan budaya dengan agama dan penduduknya mayoritas muslim.
Dia menambahkan, pembangunan Masjid atau rumah makan muslim dinilai sudah cukup memudahkan wisatawan ,uslim sebagai bentuk penghormatan masyarakat setempat terhadap keberagaman. Konsep wisata halal lebih cocok diterapkan di wilayah mayoritas muslim seperti Aceh dan Padang, bukan di Danau Toba.
“Pemerintah harus lebih berhati-hati ke depannya dalam melempar wacana. Apakah ada jaminan bila wisata halal diterapkan bakal menjadikan kunjungan ke Danau Toba meningkat tajam,” paparnya.
Dolok mengharapkan, semoga dengan buah pikir ini bisa menginspirasi dalam menunjang keparawisataan Danau Toba dan menghasilkan ide-ide positif bagi warga untuk memberikan kenyamanan bagi wisatawan di kawasan Danau Toba. (asri)