Sergai, Lintangnews.com | Ekspor sate lipan atau kelabang yang diproduksi Ricky Santri Kurniawan, mengalami peningkatan yang signifikan.
Hingga semester I tahun 2020, pengiriman kelabang kering yang difasilitasi Balai Karantina Pertanian (BKP) Kelas II Medan mencapai 3.591 kilogram, dengan total nilai ekspor berkisar Rp 4.309.200.000.
“Berdasarkan data Indonesian Quarantine Full Automation System (IQFAST), sampai dengan Juni 2020, frekuensi pengiriman ada 9 kali dengan total volume sebanyak 3.591 kg dengan nilai ekspor berkisar Rp 4.309. 200.000,” kata Kepala BKP II Medan, Hafni Zahara, Rabu (22/7/2020), saat melakukan supervisi ke tempat pengepul dan pengolahan lipan Ricky, di Dusun Belimbing Desa Melati II, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai).
Dalam supervisi itu, Hafni didampingi Kasie Karantina Hewan, Wagimin dan Untung Dalimunthe mengatakan, negara tujuan ekspor lipan kering ini, antara lain Vietnam, Hongkong dan Amerika Serikat.
“Volume dan frekuensi ekspor binatang berbisa ini untuk tahun 2020 khususnya di semester I meningkat tajam dibandingkan 2019. Tahun 2019, pengiriman hanya dilakukan sekali saja sebanyak 189 kg, dengan nilai ekspor berkisar Rp 228.500.000. Bila dipresentasikan peningkatan terjadi sekitar 1.800 persen,” kata Wagimin.
Ricky merupakan eksportir millennial yang tergolong cerdas dan mampu mengambil peluang pasar. Dia bersama keluarganya merupakan pengepul lipan untuk diolah menjadi lipan kering) dan selanjutnya diekspor ke sejumlah negara.
Dari kunjungan itu, Hafni melihat langsung proses pengolahan sate lipan yang dilakukan Ricky. Lipan-lipan yang dikumpulkan dari masyarakat sekitar itu setelah dimatikan, dicuci kemudian dikelompokan berdasarkan ukuran atau panjang lipan sesuai permintaan pasar.
Menurut Ricky, pengelompokan dilakukan berdasarkan panjang lipan yakni 17 cm, 16 cm dan 13-14 cm. Lipan kemudian ditusuk dengan potongan bambu tipis (seperti tusukan sate) di bagian kepala dan ekornya. Lipan yang telah ditusuk disusun berbaris di atas keranjang pengasapan.
“Selanjutnya dimasukkan ke dalam tungku berbahan bakar kayu dan sabut kelapa. Lipan diasapi hingga kering. Dan pengasapan biasanya dilakukan berkisar 4 jam untuk memperoleh lipan kering siap ekspor. Setelah diasap, lipan dipacking ke dalam kantong plastik. Lipan kering ini bisa disimpan antara 5 sampai 6 bulan,” terang Ricky.
Karena sifatnya yang kanibal, Ricky menuturkan, hingga saat ini belum ada warga yang mendapatkan membudidayakan binatang berbisa itu.
“Saya sendiri pernah sekali mencoba untuk membudidayakan lipan, tetapi tidak berhasil karena lipan itu kanibal,” jelas Ricky.
Ricky banyak mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga ini, pertama sekali melakukan ekspor lipan kering pada Juni 2019 sebanyak 189 kg ke Vietnam. Lipan kering umumnya digunakan untuk bahan baku obat dan pakan hewan seperti burung dan ikan.
Kementan Dukung Ekspor
Menurut Hafni, sejak pandemi Covid-19 merebak di dunia, ekspor lipan sempat terkendala hingga 3 bulan lamanya.
Kondisi itu membuat ibu-ibu yang selama ini turut membantu Ricky dalam proses pengolahan lipan kering tidak lagi memiliki penghasilan.
“Ya, mereka tidak punya pendapatan lagi karena ekspor terganggu. Rata-rata ibu-ibu itu bekerja mulai pukul 09.00-12.00 WIB dengan penghasilan berkisar Rp 60.000 per orang. Tetapi sekarang mereka sudah tersenyum lagi. Ekspor lipan sudah berjalan kembali,” terang Hafni.
Hafni mengatakan, untuk mendukung ekspor, Kementrian Pertanian (Kementan) mendorong para pengusaha dan eskportir agar melipatgandakan lalu lintas ekspor pertanian menjadi tiga kali lipat.
Program yang disebut sebagai Gerakan Tiga Kali Lipat Ekspor (Gratieks) ini, menurut Hafni, digagas Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo sebagai upaya ikut memberikan kontribusi pada perekonomian Indonesia.
“Sejalan dengan peningkatan frekuensi dan volume ekspor tersebut, kami akan terus mendukung para eksportir dan berharap dapat menciptakan eksportir-eksportir millennial yang dapat menggerakkan roda perekonomian terutama di bidang pertanian,” jelas Hafni. (Idris)